Jumat, 18 September 2015

Prof. DR. Mohammad Yamin, Sang Saka Merah Putih, Ikrah Sumpah Pemuda & Pancasila adalah Persembahannya untuk Bangsa Indonesia.





Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah seorang sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus "pencipta imaji keIndonesiaan" yang mempengaruhi sejarah persatuan Indonesia.

Ada 3 karya besar Mohammad Yamin yang dipersembahkan bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia, yaitu Sang Saka Merah Putih, Sumpah Pemuda dan Pancasila yang kita kenal saat ini.

Mohammad Yamin merupakan putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal dari Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh. Saudara-saudara Yamin antara lain : Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Mohammad Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda harus diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.

Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.

Pada tahun 1922, Mohammad Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.

Himpunan karya Mohammad Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Mohammad Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa, muncul juga pada tahun yang sama.

Dalam puisinya, Mohammad Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur Belanda. Walaupun Mohammad Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah, dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.

Karier politik Mohammad Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond. Pada tahun 1928 pada Kongres Pemuda pertama Mohammad Yamin mengusulkan bentuk panji bagi bangsa ini berupa gabungan 2 warna yang memiliki arti perjuangan yang kita kenal sebagai Sang Saka Merah Putih dan pertama kali dikibarkan pada Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 dengan iringan lagu Indonesia Raya yang juga pertama kali dinyanyikan secara resmi karya Wage Rudolf Supratman. Mohammad Yamin juga menyusun ikrah Sumpah Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional Indonesia. Melalui organisasi Indonesia Muda, Mohammad Yamin mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan Indonesia.

Pada tahun 1932, Mohammad Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam bidang hukum di Jakarta hingga tahun 1942. Pada tahun yang sama, Mohammad Yamin tercatat sebagai anggota Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan Amir Sjarifoeddin, ia mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Tahun 1939, ia terpilih sebagai anggota Volksraad.

Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Mohammad Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI, Mohammad Yamin banyak memainkan peran. Ia berpendapat agar hak asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara. Ia juga mengusulkan agar wilayah Indonesia pasca-kemerdekaan, mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta semua wilayah Hindia Belanda. Soekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong ide Yamin tersebut. Mohammad Yamin juga terpilih sebagai anggota panitia sembilan yang bertugas merumuskan dasar-dasar bagi terbentuknya negara Indonesia kelak.


Usulan yang diajukan M. Yamin dan Sukarno pada sidang BPUPKI
 

Pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mohammad Yamin menyampaikan usulan 5 dasar sebagai dasar negara yang akan didirikan. Mohammad Yamin juga melampirkan usulannya dalam bentuk usulan tertulis, Ketuhanan Yang Maha Esa, Persatuan Indoneia, Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Usulan inilah yang kelak dijadikan dasar negara Indonesia dengan perubahan pada poin 2 dan 3. Pada Sidang BPUPKI itu juga diterima usulan lain yang diajukan Supomo dan Sukarno. Mereka juga mengusulkan 5 dasar yang akan dijadikan dasar negara yang akan dibentuk.

Pada tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI dan panitia sembilan akhirnya berhasil merumuskan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta ini merupakan cikal bakal dan merupakan dasar dari terbentuknya UUD 1945 dan Pancasila. Tercatat Mohammad Yamin juga pernah diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada sidang kali ini ada penambahan 7 kata pada poin pertama usulan dasar negara yaitu kata-kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".

Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Mohammad Yamin antara lain anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962) dan Menteri Penerangan (1962-1963).

Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Mohammad Yamin membebaskan tahanan politik yang dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi dan remisi, ia mengeluarkan 950 orang tahanan yang dicap komunis atau sosialis. Atas kebijakannya itu, ia dikritik oleh banyak anggota DPR. Namun Mohammad Yamin berani bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Kemudian disaat menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mohammad Yamin banyak mendorong pendirian univesitas-universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Diantara perguruan tinggi yang ia dirikan adalah Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat.

M. Yamin meninggal pada tanggal 17 Oktober 1962. Ia wafat di Jakarta dan dimakamkan di desa Talawi, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia meninggal ketika ia menjabat sebagai Menteri Penerangan. M. Yamin dianugerahi gelar pahlawanan nasional pada tahun 1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973.





----000----
----000----