Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (lahir di Talawi, Sawahlunto,
Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada
umur 59 tahun) adalah seorang sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan
ahli hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia
merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda
sekaligus "pencipta imaji keIndonesiaan" yang mempengaruhi sejarah
persatuan Indonesia.
Ada 3 karya besar Mohammad Yamin yang dipersembahkan bagi
seluruh bangsa dan negara Indonesia, yaitu Sang Saka Merah Putih, Sumpah Pemuda
dan Pancasila yang kita kenal saat ini.
Mohammad Yamin merupakan putra dari pasangan Usman Baginda
Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal dari Sawahlunto dan Padang
Panjang. Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang hampir
keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh. Saudara-saudara
Yamin antara lain : Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro,
seorang wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps diplomatik
Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia.
Mohammad Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di
Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke
Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai
mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan
Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda
harus diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani
kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang
kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh
gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.
Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada
dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan.
Karya-karya pertamanya ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong
Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda pada tahun 1920. Karya-karya
terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Mohammad Yamin muncul untuk pertama kali
sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu
Minangkabau di Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu
pertama yang pernah diterbitkan.
Himpunan karya Mohammad Yamin yang kedua, Tumpah Darahku,
muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena
pada waktu itulah Mohammad Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan
memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa
Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan
sejarah Jawa, muncul juga pada tahun yang sama.
Dalam puisinya, Mohammad Yamin banyak menggunakan bentuk
soneta yang dipinjamnya dari literatur Belanda. Walaupun Mohammad Yamin
melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih lebih
menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi
penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah,
dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius
Caesar) dan Rabindranath Tagore.
Karier politik Mohammad Yamin dimulai ketika ia masih
menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia bergabung dalam organisasi Jong
Sumatranen Bond. Pada tahun 1928 pada Kongres Pemuda pertama Mohammad Yamin
mengusulkan bentuk panji bagi bangsa ini berupa gabungan 2 warna yang memiliki
arti perjuangan yang kita kenal sebagai Sang Saka Merah Putih dan pertama kali
dikibarkan pada Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 dengan iringan lagu
Indonesia Raya yang juga pertama kali dinyanyikan secara resmi karya Wage
Rudolf Supratman. Mohammad Yamin juga menyusun ikrah Sumpah Pemuda yang
dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia menetapkan Bahasa
Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional Indonesia.
Melalui organisasi Indonesia Muda, Mohammad Yamin mendesak supaya Bahasa Indonesia
dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa
Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan
Indonesia.
Pada tahun 1932, Mohammad Yamin memperoleh gelar sarjana
hukum. Ia kemudian bekerja dalam bidang hukum di Jakarta hingga tahun 1942.
Pada tahun yang sama, Mohammad Yamin tercatat sebagai anggota Partindo. Setelah
Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan Amir Sjarifoeddin, ia mendirikan
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Tahun 1939, ia terpilih sebagai anggota
Volksraad.
Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Mohammad Yamin
bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang
disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, ia terpilih sebagai anggota
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang
BPUPKI, Mohammad Yamin banyak memainkan peran. Ia berpendapat agar hak asasi
manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara. Ia juga mengusulkan agar wilayah
Indonesia pasca-kemerdekaan, mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor
Portugis, serta semua wilayah Hindia Belanda. Soekarno yang juga merupakan
anggota BPUPKI menyokong ide Yamin tersebut. Mohammad Yamin juga terpilih
sebagai anggota panitia sembilan yang bertugas merumuskan dasar-dasar bagi
terbentuknya negara Indonesia kelak.
Usulan yang diajukan M. Yamin dan Sukarno pada sidang BPUPKI
Pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mohammad Yamin
menyampaikan usulan 5 dasar sebagai dasar negara yang akan didirikan. Mohammad
Yamin juga melampirkan usulannya dalam bentuk usulan tertulis, Ketuhanan Yang
Maha Esa, Persatuan Indoneia, Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Usulan inilah yang kelak dijadikan dasar negara Indonesia dengan perubahan pada
poin 2 dan 3. Pada Sidang BPUPKI itu juga diterima usulan lain yang diajukan
Supomo dan Sukarno. Mereka juga mengusulkan 5 dasar yang akan dijadikan dasar
negara yang akan dibentuk.
Pada tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI dan panitia sembilan
akhirnya berhasil merumuskan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta ini merupakan cikal
bakal dan merupakan dasar dari terbentuknya UUD 1945 dan Pancasila. Tercatat
Mohammad Yamin juga pernah diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP). Pada sidang kali ini ada penambahan 7 kata pada poin pertama
usulan dasar negara yaitu kata-kata "dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluknya".
Setelah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku
Mohammad Yamin antara lain anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman
(1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955),
Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional
(1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962) dan Menteri Penerangan
(1962-1963).
Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Mohammad Yamin
membebaskan tahanan politik yang dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi
dan remisi, ia mengeluarkan 950 orang tahanan yang dicap komunis atau sosialis.
Atas kebijakannya itu, ia dikritik oleh banyak anggota DPR. Namun Mohammad
Yamin berani bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Kemudian disaat
menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mohammad Yamin banyak
mendorong pendirian univesitas-universitas negeri dan swasta di seluruh
Indonesia. Diantara perguruan tinggi yang ia dirikan adalah Universitas Andalas
di Padang, Sumatera Barat.
M. Yamin meninggal pada tanggal 17 Oktober 1962. Ia wafat di
Jakarta dan dimakamkan di desa Talawi, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia
meninggal ketika ia menjabat sebagai Menteri Penerangan. M. Yamin dianugerahi
gelar pahlawanan nasional pada tahun 1973 sesuai dengan SK Presiden RI No.
088/TK/1973.
----000----
----000----